Powered By Blogger

Minggu, 26 Oktober 2008

LEMAK DAN MINYAK

oleh :
Boy Arief Fachri*
07/260118/STK/178

*Program Pascasarjana Jurusan Teknik Kimia
Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
e-mail:boyarief@yahoo.com

I. Pendahuluan

Lemak dan minyak adalah salah satu kelompok golongan lipid, yaitu senyawa organik yang terdapat di alam serta tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik non-polar, misalnya dietil eter (C2H5OC2H5), kloroform(CHCl3), benzena dan hidrokarbon lainnya (Herlina dan Ginting, 2002).

Lemak dan minyak bukan hanya sekedar sumber bahan bakar tubuh, tetapi juga memiliki peran yang sangat penting dalam struktur dan fungsi sistem metabolisme dan kekebalan tubuh. Sebagai makanan kesehatan (medical foods) dan pangan fungsional (designer food), mereka memberikan suatu manfaat yang banyak. Proses metabolisme lemak yang tidak baik akan memberikan dampak yang jelek terhadap sistem kekebalan tubuh, metabolisme energi dan tulang, penyakit jantung koroner, kanker dan diabetes. Menurut the National Academy of Sciences Food and Nutrition Board, pola konsumsi lemak yang tidak baik akan menyebabkan gangguan pembuluh arteri pada jantung, kanker dan obesitas (Firestone dalam Schmidl dan Labuza, 2000).

Winarno (1992) dan Syahidi (2005) menyebutkan bahwa pada umumnya lemak berfungsi sebagai (1) sumber energi yang besar dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Hal ini dikarenakan lemak dan minyak memiliki perbandingan karbon dan oksigen yang rendah dibandingkan karbohidrat; (2) sebagai pelarut vitamin A,D,E dan K; (3) dalam industri pangan digunakan sebagai media penghantar panas, penambah kalori dan penambah cita rasa. Disamping itu, peran lemak dan minyak bagi kesehatan semakin diperhatikan karena naiknya status sosial, gaya hidup yang modern dan berubahnya pola makan. Bukti-bukti baru baik yang berkaitan dengan efek yang merugikan maupun yang menguntungkan dalam mengkonsumsi jenis lemak tertentu banyak muncul di media masa atau majalah ilmiah. Disamping yang sejalan, ada pula yang berlawanan, sehingga diperlukan kesamaan pandangan tentang jumlah, jenis, komposisi dan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan konsumsi minyak atau lemak dalam makanan sehari-hari. Konsumsi lemak yang berlebihan akan menimbulkan kegemukan, meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner dan beberapa jenis kanker (Koswara, tanpa tahun).

II. Lipida

2.1. Definisi

Lipid dalam bahasa Yunani berarti lemak (Firestone dalam Schmidl dan Labuza, 2000). Lipida merupakan komponen senyawa organik yang terdapat dalam mahluk hidup, yang larut di dalam pelarut organik atau pelarut non-polar, tetapi tidak larut dalam air. Lemak dan minyak termasuk dalam kelompok senyawa yang disebut lipida dan lemak merupakan komponen lipida yang terbesar (Silalahi dan Hutagalung, tanpa tahun). Walau demikian ada perbedaan antara lemak dan minyak, yaitu:
Titik cair lemak dan minyak akan bertambah dengan semakin panjangnya rantai C. Sifat-sifat kristal lemak pada umumnya berbentuk rapuh, transparan, pipih, halus, besar dan berkelompok. Sementara itu indeks refraksi meningkat dengan makin panjangnya rantai.

2.2. Klasifikasi

Berdasarkan komposisi kimianya, lipida terbagi menjadi tiga golongan (Firestone Firestone dalam Schmidl dan Labuza, 2000), yaitu:

  1. Lipida sederhana (simple/neutral lipids), yang terdiri atas
    a. lemak netral seperti mono, did dan trigliserida
    b. ester asam lemak dengan alcohol yang memiliki berat molekul tinggi, seperti malam, ester sterol, ester non-sterol, ester vitamin A dan D.
    Kebanyakan lemak dan minyak yang dapat dimakan (edible fat and oil) merupakan senyawa lipida yang sederhana.
  2. Lipida majemuk (compounds lipids), yang terdiri atas fospolipida dan lipoprotein. Fospolida yang umumnya terdapat dalam tumbuhan dan hewan, biasanya phosphatidylcholine, phosphatidylethanolamine, phospatidylserine dan phospat idylinositol. Strukturnya mengandung 2 gugus hidroksil dari gliserol yang teresterifikasi oleh asam lemak dan 3 gugus fospat yang terikat pada rantai organik yang pendek. Tetapi bisa juga fospolidanya berbentuk gliserol teresterifikasi-asam fospat dan cardiolipin.
  3. Lipida turunan (derived lipids), antara lain; asam lemak (fatty acids) jenuh maupun tak jenuh; sterol seperti kolestrol, ergosterol, hormon steroida, vitamin D dan garam empedu; karotenoid dan vitamin A, E, K.

Berbagai bahan pangan seperti daging, ikan ,telur, susu dan sayuran mengandung lemak dan minyak yang biasanya termakan bersama. Lemak dan minyak ini disebut juga lemak tersembunyi. Sedangkan lemak atau minyak yang telah diekstraksi dari ternak atau bahan nabati dan dimurnikan, biasa disebut lemak atau minyak biasa (kasat mata) (Winarno, 1992).

Lemak dan minyak dapat berasal dari hewani dan nabati. Lemak hewani, biasa disebut lemak saja, memiliki sifat antara lain (1) mengandung banyak sterol yang biasa disebut sterol saja; (2) umumnya pada suhu kamar berbentuk padat, seperti lemak susu. Sedangkan lemak nabati, yang biasa disebut minyak, memiliki sifat antara lain (1) banyak mengandung fitosterol; (2) banyak mengandung asam lemak tak jenuh; (3) umumnya pada suhu kamar berbentuk cair, adakalanya juga berbentuk padat dan dikenal juga dengan nama minyak coklat dan merupakan bagian stearin dari minyak kelapa sawit (Winarno, 1992). Minyak nabati yang berbentuk cair dapat dibedakan atas tiga golongan (Silalahi dan Ginting, 2002) yaitu (1) drying oil, membentuk lapisan keras bila mengering di udara; (2) semi drying oil, contoh minyak jagung dan minyak bunga matahari; dan (3) non- drying oil, contoh minyak kelapa dan minyak kacang tanah.

2.3. Fungsi Lipida

Lipida mempunyai fungsi sebagai berikut (1) sumber energi; (2) sumber asam lemak esensial yaitu asam lemak linoleat dan linolenat; (3) alat angkut vitamin larut lemak; (4) menghemat protein; (5) memberi rasa kenyang dan kelezatan; (6) sebagai pelumas; (7) pemelihara suhu tubuh; dan (8) pelindung organ.

III. Proses Pembentukan/Pembuatan dan Pemurnian Lemak atau Minyak

3.1. Proses Pembentukan/Pembuatan Lemak atau Minyak

Secara alamiah, hampir semua bahan pangan banyak mengandung lemak dan minyak, terutama yang berasal dari hewan. Lemak pada hewan terdapat pada jaringan adiposa. Sedang pada tanaman, pembentukan lemak terdiri atas tiga tahap yaitu: pembentukan gliserol, pembentukan molekul asam lemak dan kondensasi asam lemak dengan gliserol membentuk lemak.
Pada tahap sintesis gliserol, fruktosa dipospat diuraikan oleh enzim aldosa menjadi dihidroksi aseton fosfat, kemudian diredukasi menjadi a-gliserofosfat. Gugus fosfat dihilangkan melalui proses fosforilasi sehingga akan terbentuk molekul gliserol.
Asam lemak dibentuk dari senyawa yang mengandung karbon seperti asam asetat, asetaldehid dan etanol yang merupakan hasil respirasi dari tanaman. Sintesis dilakukan dalam kondisi anaerob dengan bantuan bakteri clostridium kyluveri.
Pada tahap kondensasi asam lemak dengan gliserol, terjadi reaksi esterifikasi gliserol dengan asam lemak yang dikatalis oleh enzim lipase.

Secara industri, produksi lemak dan minyak dapat diperoleh dari ekstraksi jaringan hewan atau tanaman dengan tiga cara yaitu rendering, pengepresan (pressing) dan dengan pelarut. Rendering merupakan cara yang sering digunakan untuk mengekstraksi minyak hewan dengan cara pemanasan. Pada cara pressing, bahan yang mengandung lemak atau minyak mengalami perlakuan pendahuluan, misalnya dipotong-potong atau dihancurkan. Kemudian di-press dengan tekanan tinggi menggunakan tenaga hidrolik atau screw press. Cara ekstraksi larutan dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut dan digunakan untuk bahan yang mengandung kadar minyak rendah (Winarno, 1992).

Tang dkk (1992) mengekstraksi lipid dan kolestrol dari protein dengan menggunakan pelarut campuran yang terdiri atas alcohol rantai pendek, air, dan asam. Asam yang digunakan dapat berupa asam sitrat, asam asetat dan asam tartrat. Alkohol yang digunakan adalah etanol. Komposisi pelarut adalah 90.9 % etanol, 9 % air dan 0,084 %. Waktu ekstraksi 4 jam dan suhu 40 o C.

3.2 Pemurnian Minyak

Cara-cara pemurnian dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu:

  1. Pengendapan (settling) dan pemisahan gumi (degumming).
    Proses ini bertujuan menghilangkan partikel-partikel halus yang tersuspensi atau berbentuk koloidal. Pemisahan dapat dilakukan dengan pemanasan uap dan adsorben.
    Netralisasi dengan alkali.Proses ini bertujuan untuk memisahkan senyawa-senyawa terlarut seperti fosfatida, asam lemak bebas, dan hidrokarbon.
  2. Pemucatan
    Bertujuan untuk menghilangkan zat warna dalam minyak dengan penambahan adsorbing agent seperti arang aktif dan tanah liat.
  3. Penghilangan bau (deodorisasi lemak)
    Proses ini dilakukan dalam botol vakum, kemudian dipanaskan dengan mengalirkan uap panas yang akan membawa senyawa volatil. Selesai deodorisasi, lemak harus segera didinginkan untuk mencegah kontak dengan oksigen.


Chang dkk (1989) melakukan proses pemurnian minyak ikan yang mengandung EPA dan DHA dengan menggunakan distilasi uap vakum (vacuum steam distillation) pada 60-100 derajat Celcius dalam 2-5 jam. Ia juga menggunakan adsorben silica untuk mengurangi bau yang disebabkan adanya senyawa yang volatil. Sementara itu Yagi dkk (1996) memurnikan lemak dan minyak dengan cara mengemulsikannya dengan sebuah enzim yang dapat memutuskan ikatan gliserol-asam lemak. Selanjutnya emulsi didispersikan dalam air atau asam encer seperti asam sitrat dan asetat, lalu akan terbentuk butiran dengan ukuran 0,1-50 mili micron. Proses selanjutnya adalah pencucian dengan air untuk menghilangkan sisa-sisa fospolipida.

IV. Analisa Senyawa-senyawa Lipida (Minyak dan Lemak )

Winarno (1992) dan Herlina dan Ginting (2002) menyebutkan bahwa analisa lemak dan minyak yang umum dilakukan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok berdasarkan tujuan analisanya, yaitu (1) penentuan kuantitatif, yaitu penentuan kadar lemak dan minyak yang terdapat dalam bahan makanan atau bahan pertanian; (2) penentuan kualitas minyak sebagai bahan makanan ; dan (3) penentuan sifat fisika maupun kimia yang khas ataupun mencirikan sifat minyak tertentu.

4.1 Penentuan Kuantitatif

Firestone dalam Schmidl dan Labuza (2000) menyebutkan bahwa untuk menganalisa kandungan lemak dalam makanan dapat dilakukan dengan cara volumetris, gravimetris, dan kromatografi. Kromatografi yang dapat dipakai seperti kromatografi gas (CG), kromatografi lapisan tipis (TLC), kromatografi ekslusi (SEC), kromatografi cairan (LC) dan kromatografi yang memiliki unjuk kerja baik seperti HP-SEC dan HPLC.

CG digunakan untuk melarutkan dan menghitung lipida seperti triacylglycerols dan turunan-turunan FAME. TLC sangat sesuai untuk memisahkan ester kolestrol, mono, di, triacylglycerols, asam lemak bebas, kolestrol, dan fospolipid. SEC dan HP-SEC digunakan untuk memisahkan produk hidrolitik, oksidasi dan pemanasan lemak. Sedangkan HPLC digunakan untuk memisahkan lipida non-volatil yang memiliki berat molekul tinggi.

Komponen-komponen bahan terekstrak sangat dipengaruhi oleh proses ekstraksi, seperti jenis pelarut. Untuk lipida sederhana, n-heksana dan CO2 superkritis dapat digunakan sebagai pelarut. Sedangkan untuk lipida yang kompleks, pelarut polar seperti metanol akan lebih sesuai untuk digunakan.

Untuk menentukan kadar lemak total dalam makanan, the Nutrition and Labeling Education membutuhkan tahapan sebagai berikut, yaitu (1) hidrolisis dengan asam atau basa; (2) ekstraksi dengan eter ; dan (3) konversi asam lemak ke metil ester asam lemak (FAME) kemudian menghitung kadar FAME dengan kromatografi gas.

Artiss dkk (1988) menentukan kandungan lipida dengan menggunakan TLC dan metode enzimatis. Enzim yang digunakan adalah enzim hidrolase, oxidase dan peroxidase dalam precursor chromogen. Metode ini sesuai untuk menentukan fospolipida hewan, jaringan tissue manusia dan fluida.

4.2 Penentuan Kualitas

Penentuan kualitas meliputi:

  1. Penentuan Angka Penyabunan (AP)
    Adalah jumlah mg basa KOH atau NaOH yang dibutuhkan untuk menyabunkan 1 gram lemak. Angka penyabunan menunjukkan berat molekul lemak dan minyak secara kasar.
    Asam lemak dengan rantai C pendek akan memiliki AP yang tinggi dari pada asam lemak dengan rantai C panjang.
  2. Penentuan Angka Ester
    Angka ester menunjukkan jumlah asam organik yang bersenyawa sebagai ester. Angka ester = angka penyabunan – angka asam
  3. Penentuan Angka Iodine (AI)
    Penentuan iodine menunjukkan ketidakjenuhan asam lemak penyusunan lemak dan minyak. Asam lemak tidak jenuh mampu mengikat iodium dan membentuk senyawaan yang jenuh. Banyaknya iodine yang diikat menunjukkan banyaknya ikatan rangkap yang terdapat dalam asam lemaknya. Angka iodine dinyatakan sebagai banyaknya iodine dalam gram yang diikat oleh 100 gram lemak atau minyak.
  4. Penentuan Angka Reichert Meisel (ARM)
    Angka ini menunjukkan jumlah asam-asam lemak yang dapat larut dalam air dan mudah menguap. Angka ini dinyatakan dengan jumlah 0,1 N basa yang diperlukan setiap 5 gram lemak untuk menetralkan asam-asam lemak yang mudah menguap pada destilasi yaitu asam lemak dengan C-4 atau C-6 (butirat dan kaproat).
  5. Penentuan Angka Polenske
    Bilangan ini menentukan kadar asam lemak yang volatil, tetapi tidak larut
    dalam air, yaitu asam lemak C-8 sampai dengan C-14. Bilangan polenske adalah jumlah milimeter (ml) 0,1 N alkali yang diperlukan untuk menetralkan asam lemak C-8 sampai C-14 yang terdapat dalam 5 gram contoh.
  6. Penentuan Angka Asam (AA)
    Angka Asam menunjukkan banyaknya asam lemak bebas yang terdapat dalam suatu lemak atau minyak. AA dinyatakan sebagai jumlah milligram NaOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam satu gram lemak atau minyak.
  7. Penentuan Angka Hehner
    Bilangan ini digunakan untuk menentukan jumlah asam lemak yang tidak larut dalam air. Lemak dengan berat molekul tinggi akan memiliki bilangan hehner yang rendah.
  8. Uji ketengikan dapat dilakukan untuk menentukan derajat ketengikan dengan mengukur senyawa hasil oksidasi. Parameter yang sering digunakan adalah antara lain
    a. Angka Peroksida
    Angka ini ditentukan untuk menentukan derajat ketengikan dengan mengukur
    senyawa iodin yang dibebaskan setelah lemak atau minyak ditambahkan dengan KI. Lemak direaksikan dengan KI dalam pelarut asam asetat dan kloroform (2:1), kemudian iodin yang terbentuk ditentukan dengan titrasi memakai Natrium Thiosulfat.
    b.Jumlah karbonil
    Ada dua cara yaitu cara Kreis yang memakai pereaksi florogusinol dan cara Lappin Clark yang memakai pelarut 2,4 dinitrofenilhidrazin.
    c.Uji Asam Tiobarbiturat
    Uji ini dapat digunakan untuk menentukan adanya ketengikan. Lemak yang tengik akan bereaksi dengan asam tiobarbiturat menghasilkan warna merah.
    d.Uji Oven Schaal

V. Lipida Terstruktur (Structured Lipids)

5.1 Definisi

Lipida terstruktur merupakan lipida yang disusun ulang (reconstituted) dengan cara kimia ataupun dengan enzimatis untuk mengubah komposisi dan posisi stereokimia asam lemaknya dalam gliserol. Senyawa ini dapat diproduksi secara komersil dengan proses hidrolisis, esterifikasi, dan inter-esterifikasi pada suhu tinggi. Ia juga dapat dibuat dengan cara enzimatis (Firestone dalam Schmidl dan Labuza, 2000; Scrimgeour dalam Syahidi, 2005).

5.2 Manfaat dan Komposisi

Lipida terstruktur dapat memberikan manfaat kesehatan yaitu memperbaiki metabolisme asam lemak, mengurangi kolestrol jahat (LDL), memperbaiki sistem kekebalan, mencegah trombosis dan kanker. Jandacek dkk (dalam Firestone dalam Schmidl dan Labuza, 2000) melaporkan bahwa trigliserida terstruktur, terhidrolisa dan terserap lebih efisien dibandingkan dengan trigliserida rantai panjang bisaa. Baabayan (dalam Firestone dalam Schmidl dan Labuza, 2000) menyebutkan bahwa lipida terstruktur dengan MCT sebagai backbone-nya dan mengandung asam linoleat, sangat sesuai untuk pasien yang sakit parah. Sedangkan Hubberd dan McKenna (dalam Firestone dalam Schmidl dan Labuza, 2000) menyebutkan bahwa lipida terstruktur yang mengandung MCT dan safflower oil sangat sesuai digunakan sebagai suplemen bagi penderita fibrosis sistik.

Akoh (2002) membuat lipida terstruktur dengan bantuan enzim. Komposisi lipidanya mengandung triolein, asam kaproat, asam butirat dan enzim lipase. Selain itu, juga komposisinya dapat berupa asam linolenat, SCT dan MCT, asam lemak tak jenuh dan lipase. Senyawanya dapat digunakan untuk memodulasi kolestrol, LDLP dan kadar tryacylglycerols.

Lin dkk (2003) melaporkan telah memodifikasi struktur lipida dengan menambahkan histidin dan polyanion seperti asam nukleat dan peptide. Senyawa kompleks yang terbentuk disebutkan dapat mengefektifkan perpindahan polyanion ke sel tanpa meracuni sel tersebut. Senyawanya disebut juga cationic lipids.

VI. Asam Lemak (Fatty Acids)

6.1 Definisi dan Manfaat

Asam lemak merupakan komponen utama dalam lemak dan minyak. Asam lemak yang ditemukan di alam, bisaanya merupakan asam-asam monokarboksilat dengan rantai yang tidak bercabang dan mempunyai jumlah atom karbon genap. Asam lemak di alam dibagi menjadi dua golongan, yaitu: asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh . Asam lemak tak jenuh bisaanya berada dalam bentuk cis. Asam lemak tak jenuh berbeda bentuk molekulnya dengan asam lemak jenuh (Winarno, 1992; Herlina dan Ginting, 2002; Scrimgeour dalam Syahidi, 2005).

Beberapa hal yang mempengaruhi sifat-sifat minyak adalah asam lemak penyusunnya, yaitu asam lemak jenuh (saturated fatty acid/SFA) dan asam lemak tak jenuh (unsaturated fatty acid/UFA), yang terdiri atas mono-unsaturated fatty acid (MUFA) dan poly-unsaturated fatty acid (PUFA) atau high unsaturated fatty acid. Para ahli biokimia dan ahli gizi lebih mengenalnya dengan sebutan asam lemak tak jenuh Omega 3, Omega 6 dan Omega 9. PUFA mempunyai pengaruh yang dapat menurunkan kolesterol. Konsumsi PUFA (Omega 6) yang berlebihan tanpa diimbangi konsumsi Omega 3 memang dapat menurunkan LDL kolesterol, akan tetapi HDL kolesterol juga dilaporkan ikut mengalami penurunan. Selain itu, keseimbangan antara Omega 3 dan Omega 6 terganggu, menyebabkan darah mudah menggumpal. Kedua hal ini tidak menguntungkan karena rasio LDL/HDL (Indeks Penyakit Jantung Koroner/PJK) yang menurun. Mudahnya darah untuk menggumpal, tidak dapat mencegah terjadinya PJK, bahkan dapat memicu terjadinya PJK. Oleh karena itu, perlu juga mengkonsumsi MUFA (Muchtadi, 2000).

Grundy (1985) dan Mensink (1987) menyatakan bahwa MUFA dapat menurunkan kolesterol (LDL-kolesterol) sehingga MUFA mulai mendapat perhatian. Salah satu jenis MUFA adalah Omega 9 (Oleat) yang berdasarkan penelitian pada 1992, 1998, 1999 dan 2000, menyimpulkan bahwa Omega 9 memiliki daya perlindungan yang mampu menurunkan LDL kolesterol darah, meningkatkan HDL kolesterol yang lebih besar dibanding Omega 3 dan Omega 6, lebih stabil dibandingkan dengan PUFA. Hal ini dapat dilihat dari masyarakat yang hidup di kawasan Mediteranian yang jarang ditemukan penderita jantung koroner karena tingginya konsumsi Omega 9 dan Omega 3. Sedangkan di kawasan barat (AS dan Eropa) konsumsi lemaknya memiliki rasio 10:1 (Omega 6, Omega 3), yang dianggap tidak sehat.

6.2 Klasifikasi

Asam lemak jenuh yang paling banyak ditemukan dalam bahan pangan adalah asam palmitat. Asam lemak dapat digolongkan berdasarkan berat molekul dan derajat ketidakjenuhan. Kedua faktor tersebut akan mempengaruhi sifat-sifat kelarutannya dalam air, kemampuan asam lemak untuk menguap dan kelarutan garam-garamnya dalam alkohol dan air. Asam lemak dengan atom C lebih dari dua belas tidak larut dalam air dingin maupun air panas. Asam lemak dari C4,C6 dan C8 dapat menguap sedangkan C12 dan C14 sedikit menguap.

Asam lemak menurut jumlah atom karbonnya dapat dibedakan menjadi :

  1. Asam lemak rantai pendek (short chain fatty acids) yang memiliki jumlah atom karbon kurang dari 6.
  2. Asam lamak rantai sedang/menengah (medium chain fatty acids) yang memiliki 8-12 atom karbon. Jenis ini bermanfaat untuk pencegahan dan terapi adipositas (Kuzela dkk,2003).
  3. Asam lamak rantai panjang (long chain fatty acids) dengan 14-18 jumlah atom C
    Asam lemak rantai sangat panjang (very long chain fatty acids) dengan jumlah atom C lebih dari 20.

6.3. Contoh Proses Pembuatan dan Isolasi

Breton (2003) mengisolasi PUFA dari minyak ikan dengan cara hidrolisa enzimatis. Enzim yang digunakan lipase. Kemudian proses selanjutnya adalah pemisahan PUFA dari asam lemak bebas dengan cara pengeringan beku.
Rongved (2007) membuat omega 3 dengan tahapan sebagai berikut, yaitu (1) hidrolisis crude oil yang mengandung asam lemak tak jenuh; (2) melarutkan fase oil dalam heksan atau toluene; (3) pencucian dengan air; (4) menambahkan asam amino alkohol untuk membentuk garam yang mudah larut dalam air; (5) isolasi produk dengan pengeringan.



VII. Produk Oksidasi Kolestrol (Cholestrol Oxidation Products/COPs)

7.1 Definisi

Kolestrol merupakan senyawa kelompok sterol (steroid alcohol) yang tidak berikatan dengan senyawa lain. Ia merupakan single molecular. Kolestrol dapat mengalami auto-oksidasi dan foto-oksidasi. Kedua reaksi tersebut dapat menghasilkan oxysterol yang berbeda-beda struktur, tergantung jenis oksidasi dan sifat-sifat fisik substrat. Berbeda dengan asam lemak tak jenuh, produk oksidasi kolestrol lebih kompleks sehingga agak sulit diisolasi dan dikarakterisasi (http://www.cyberlipid.org/).

Penelitian-penelitian tentang COPs saat ini dititikberatkan pada (1) toksisitas COPs; (2) keberadaan COPs dalam makanan; (3) pengaruh pemrosesan bahan makanan dan kondisi penyimpanan terhadap reaksi oksidasi kolestrol. Paniangvait dkk (1995) meneliti tentang oksidasi kolestrol, sedangkan Guardiola dkk (1996) meneliti tentang pengaruh biologis kolestrol oksida dan masalah yang berhubungan dengan kadar kolestroldan oksida-oksidanya. Smith dan Johnson (1989) mengamati peranan COPs dalam aterogenesis.

7.2 Reaksi Oksidasi Kolestrol

COPs yang terdapat dalam makanan merupakan hasil dari pemrosesan bahan makanan. COPs dapat terbentuk melalui mekanisme reaksi auto-oksidasi, foto-oksidasi dan enzimatis. Ketiga mekanisme tersebut dapat berjalan sendiri-sendiri atau simultan (Kumari, tanpa tahun; http://www.cyberlipid.org/).

Paniangvait dkk (1995) meleporkan bahwa terbentuknya COPs berhubungan dengan kondisi dan waktu penyimpanan. Panas, cahaya, pH, oksigen, kadar air dan keberadaan asam lemak tak jenuh merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi kolestrol.

Analisa COPs merupakan analisa yang sangat kompleks, karena sangat sulit sekali memisahkan kolestrol dengan trigliserida, fospolipid dan lipida lainnya (Ulberth dan Buchgraber, 2002).

Analisa COPs meliputi tahapan (1) ekstraksi COPs dari sumbernya; (2) pemurnian ekstrak; (3) derivatisasi; dan (4) kuantifikasi dengan metode kromatografi ((Ulberth dan Buchgraber, 2002; Guardiola, 2004).
COPs berhubungan dengan aterogenesis, sitotoksid, mutagenasi, kanker, kerusakan sel membrane dan menghambat biosintesis kolestrol (Osada, 2002; Dobarganes dkk, 2003).

VIII. Asam Linolenat Terkonjugasi (Conjugated Linoleic Acids/ CLAs)

8.1 Definisi dan Manfaat

Pariza dkk (1979) melaporkan bahwa daging sapi mengandung senyawa penghambat mutasi pada gen. Senyawa tersebut dapat menghambat inisiasi sel tumor. Selanjutnya, senyawa tersebut merupakan campuran dari conjugated linoleic acids (CLAs). CLAs tersusun atas 90 % isomernya yang dapat dibuat secara sintetis. CLAs banyak terdapat dalam produk-produk susu dan daging bagian dalam hewan.

CLAs dilaporkan dapat mencegah kanker, mengontrol cardiovascular, menurunkan LDL, mengurangi berat badan dan massa tulang (www.eatwild.com). Pariza (2000) menyebutkan bahwa mengkonsumsi CLAs dapat (1) meningkatkan laju metabolisme; (2) mengurangi lemak di perut; (3) memperbaiki pertumbuhan otot; (4) menjaga kadar kolestrol, insulin dan trigiserida; dan (5) meningkatkan sistem kekebalan tubuh.

8.2 Analisa CLAs

Analisa terhadap ikatan rangkap terkonjugasi pada CLAs dapat dilakukan dengan GC-mass spectrometry (GC-MS) menggunakan asam lemak dan turunannya. Metode yang dilakukan oleh Dobson (dalam Christie, 2002) ini merupakan metode yang sangat spesifik. Ia menggunakan 2 metil-1,2,4, triazoline-3,5-dione dan 1,3-hexadiene. Kelemahan metodenya adalah tidak dapat membedakan dengan baik antara trans, trans-, dan cis, trans-dienes. Sedangkan Christie (2002) mengatakan CLAs dapat dianalisa, antara lain dengan menggunakan CG, HPLC, dan CG-MS spectrometry.

8.3 Pembuatan CLAs Sintetis

Fimreite (2002) membuat CLAs dalam bentuk powder yang mengandung trigliserida, asam lemak atau alkyl ester. Ia mengatakan CLAs yang dibuatnya memiliki sifat-sifat organoleptis yang baik. Produknya dikatakan dapat digunakan sebagai suplemen diet.

Saebo dkk (2004) membuat CLAs dengan nilai asam yang tinggi. Caranya dengan mencampurkan katalis alkoholat dan ester-ester asam linolenat. Kemudian campuran tersebut membentuk saponified CLAs. Lalu dicuci dengan asam lemah untuk membentuk CLAs yang bebas asam lemak. Asam linolenat yang digunakan dapat berasal dari minyak jagung atau biji bunga matahari. Alkoholat yang digunakan berupa sodium methylate sedangkan asam lemahnya berupa asam sitrat.

Zander dkk (2005) membuat CLAs dengan cara hidrolisis enzimatis terhadap alkyl ester. Proses pemurnian dengan dicuci oleh air atau alkanol, selanjutnya dilakukan distilasi vakum pada 20-60 mbar. Suhu hidrolisis 20-80 oC. Enzimnya dapat berasal dari kelompok alcaligeneses atau asperigilus niger atau candica antartica A.

Horlacher dkk (2006) membuat CLAs melalui isomerisasi dengan cara memcampurkan asam linolenat dengan alkali metal alcoholate. Kemudian CLAs yang terbentuk disabunkan untuk memperoleh CLAs yang murni. Selanjutnya dilakukan kristalisasi. Isomerrisasi pada suhu 100-130 oC, kristalisasi pada suhu dibawah 10oC.

Westfechtel dkk (2006) melaporkan proses pembuatan CLAs. Tahapannya adalah (1) isomerisasi pada suhu 50-100 o C dengan bantuan alkali metal alcoholate; (2) saponifikasi pada suhu 40-90 oC; dan (3) netralisasi dengan asam fospat pada suhu 50-90 oC.

IX. Phytosterols

9.1. Definisi dan Manfaat

Istilah phytosterols pertama kali muncul tahun 1897. Ia merupakan sterol yang berasal dari tumbuhan. Strukturnya mirip dengan kolestrol akan tetapi memiliki cabang yang lebih banyak. Oleh karenanya, sulit untuk diserap/dicerna oleh organ manusia. Phytosterols yang sering ditemui adalah beta-sitosterol.

Ada 2 manfaat phytosterols, yaitu (1) menghambat penyerapan kolestrol. Ada dua mekanismenya, yaitu (a) mengendapkan kolestrol; dan (b) menggunakan membrane yang selektif terhadap kolestrol sehingga tidak dapat terserap (www.wikipedia.org); (2) mempengaruhi aktivitas enzim yang terlibat dalam proses metabolisme kolestrol (Firestone dalam Schmidl dan Labuza, 2000).

9.2 Proses Pembuatan Phytosterol

Binder dkk (2004) membuat phytosterols dari crude phytosterol yang berupa alpa atau beta sitosterol, sitostanol ataupun stigmasterol. Crude phytosterols dicampur dengan air dan emulsifier yang dapat berupa lesitin, mono atau digliserida, atau polyglicerols esters. Kemudian pada campuran tersebut dilakukan proses hidrotermik pada suhu 40-100 oC. Tahap selanjutnya homogenasi pada tekanan 2000 psi-8000 psi, kemudian diikuti dengan pengeringan beku.

Proses produksi phytosterol dari crude phytosterols yang berasal dari minyak nabati telah dilakukan oleh Hattori dkk (2007). Caranya dengan saponifikasi dalam pelarut alkohol-air. Proses selanjutnya adalah pendinginan untuk mengendapkan kristal phytosterols dan akhirnya dilakukan penyaringan/filtrasi.

Sicre dkk (2007) mengisolasi phytostrols dari crude phytosterols dengan transesterifikasi menggunakan methanol 25-75 % w. Selanjutnya didinginkan dan kristalisasi pada 75-80 oC lalu pemisahan dengan filtrasi.
Wu dkk (2007) mengemulsi crude phytosterol dengan saponin. Emulsinya berupa w/o emulsion. Phytosterol dilarutkan dalam fase minyak, sedangkan saponin pada fase air. Keduanya lalu dicampurkan. Pengeringan dan kristalisasi dilakukan untuk memperoleh powder phytosterols.

X. Daftar Pustaka

  1. Akoh, C., 2002, Structured Lipida, US 6 369 252 B1
  2. Artiss, J.D., Bozimowski, D., McEnroe, R.J., 1988, Method for Determining Lipids, US 4 784 945
  3. Binder, T.P., Gottemoller, T.V., 2004, Hydrothermically Processed Compositions Containing Phytosterols, US 2004/0014733 A1
  4. Breton, G., 2003, Enzymatic Methods for Polyunsaturated Fatty Acid Enrichment, US 6 537 787 B1
  5. Chang, S.S., Pelura, J.T., 1989, Purification of Fish Oil, US 4 874 629
  6. Christie, W.w., 2002, The Analysis of Conjugated Linoleic Acid, Lipid Technology, Vol. 12, Hal. 64-66
  7. Fimreite, D., 2002, Conjugated Linoleic Acid Powder, US 2002/0013365 A1
  8. Firestone, D, 2000, Fats and Oils and Their Effects on Health and Disease dalam Essentials of Functional Foods oleh Schmidl dan Labuza,.
  9. Guardiola, F., Codony, R., Addis, P.B., 1996, Biological Effects of Oxysterols: Current Status, Food Chem Toxicol, Vol.34, Hal. 193-211
  10. Hattori, Y., Horio, W., Kono, J., 2007, Process for Producing Phytosterols by Saponification in an Alcohol/Water Solvent, US 7 173 144 B1
  11. Herlina, N., Ginting, M.H.S., 2002, Lemak dan Minyak, USU Digital Library
  12. Horlacher, P., Ruf, K., Timmermann, F., Adams, W., Kries, R.V., 2006, Method for Producing Conjugated Linoleic Acid, US 2006/0189817 A1
  13. Koswara, S., tanpa tahun, Konsumsi Lemak yang Ideal bagi Kesehatan, diakses dari www.google.com tanggal 17 November 2007
  14. Kumari, S.J., tanpa tahun, Cholestrol Oxidation Products- Analytical Methods and Levels in Sweets Containing Heated Buffer Oil, diakses dari www. Google.com tanggal 17 November 2007
  15. Kuzela, L., Feldheim, K., 2003, Use of Medium =-Chain Triglycerides for the Prevention and Therapy of Adiposity, US 2003/0130346 A1
  16. Lin, K.Y., Mattuecci, M.D., 2003, Cationic Lipids, US 6 610 664 B2
  17. Muchtadi, T.R., 2000, Asam Lemak Omega 9 dan Manfaatnya bagi Kesehatan, Media Indonesia, Edisi 29 November 2000
  18. Paniangvait, P, King, A.J., Jines, A.D., 1995, Cholestrol Oxides in Food of Animal Origin, J Food Sci., Vol. 60, Hal. 1159-1174
  19. Rongved,P. Klavenses, J., 2007, Omega 3, US 2007/0213298 A1
  20. Saebo, A., Saebo, P.C., 2004, Conjugated Linoleic Acid, US 2004/0225142 A1
    Scrimgeour dalam Syahidi, 2005
  21. Sicre, C, Amergand, R., Schwarzer, J., Gutsche, B., Musholt, M., Jordan, V., 2007, Process for Recovering Phytosterols via Crystallization, US 7 244 856 B2
  22. Silalahi, J., Hutagalung, N., tanpa tahun, Komponen-Komponen Bioaktif dalam Makanan dan Penngaruhnya terhadap Kesehatan, diakses dari www.google.com tanggal 17 November 2007
  23. Syahidi, A., 2005, Chemistry of Fatty Acids, Bailey’s Industrial Oil Product
  24. Westfechtel, A., Albiez, W., Zander, L., 2006, Method for Production of Conjugated Linoleic Acids, US 2006/0106238 A1
  25. Winarno, F.G., 1992, Kimia Pangan dan Gizi, PT Gramedia Pustaka
  26. Wu, W., Chen, J., Hsieh, H., 2007, Method of Emulsifying Phytosterol by Matural Saponin, Emulsion prepared thereby and Water Dispersible Phytosterol Powder Produc, US 2007/0014819 A1
  27. www.cyberlipid/org, Cholestrol Peroxidation, diakses tanggal 17 November 2007
  28. www.wikipedia.org, Cholestatin, diakses 17 November 2007
  29. Yagi, T., Higurashi, M., 1996, Process for Refining Oil and Fat, US 5 532 163
  30. Zander, L., Busch, S., Meyer, C., 2005, Method for Producing Conjugated Linoleic Acid, US 2005/0255570 A1

Ucapan terima kasih kepada Ibu Wiratni, Ph.D yang telah memberikan arahan dalam penulisan paper ini.


















PREBIOTIK DAN PROBIOTIK


oleh :
Boy Arief Fachri*
07/260118/STK/178

*Program Pascasarjana Jurusan Teknik Kimia
Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
e-mail:boyarief@yahoo.com









I. Pendahuluan

Istilah pangan fungsional dipilih dari sederet istilah yang pernah dipopulerkan sebelumnya seperti pharmafoods, designer foods, nutraceutical food, health foods, dan therapeutic foods. Suatu produk dapat disebut sebagai kelompok pangan fungsional bila :
  1. Makanan yang dirancang tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar akan energi dan gizi, namun juga memberi manfaat tambahan secara nutrisional dan fisiologis pada konsumen.
  2. Dapat dan layak dikonsumsi sebagai bagian dari diet atau menu setiap hari
  3. Mempunyai fungsi tertentu pada saat dicerna, yaitu memberikan peran khusus dalam proses metabolisme tubuh seperti meningkatkan imunitas tubuh, mencegah penyakit tertentu, membantu pemulihan tubuh setelah menderita sakit, menjaga kondisi fisik dan mental serta memperlambat proses penuaan (Setyawan, 2007).

Sedangkan Brassart dan Schiffrin dalam Schmidl dan Labuza (2000) menyatakan bahwa pangan fungsional dapat diartikan sebagai makanan yang dirancang tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar akan energi dan gizi, namun juga memberi manfaat tambahan secara nutrisional dan fisiologis pada konsumen.

The International Food Information Center telah mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang memberikan manfaat kesehatan. Kelebihan pangan fungsional dibandingkan dengan pangan lain adalah kemampuannya dalam mencegah terjadinya gangguan kesehatan. Kemampuan ini terletak pada komponen aktif yang dikandungnya. Komponen fungsional atau zat bioaktif dalam pangan fungsional yang jarang disentuh keberadaannya adalah probiotik, prebiotik, serat pangan dan resistant starch (Rohdiana, 2004).

Permukaan mukosa seperti gastrointestinal merupakan interfas yang panjang dan kaya akan mikroorganisme jahat. Mikroorganisme ini dapat menimbulkan gangguan kesehatan (infeksi) pada manusia. Untuk menangkal hal ini, ada dua mekanisme yang dilakukan oleh mukosa yaitu (1) antagonis terhadap bakteri jahat; (2) merespon dengan kekebalan sendiri. Mekanisme yang ke (2) melibatkan adaptive immunity dan innate immunity (Brassart dan Schiffrin dalam Schmidl dan Labuza (2000).

Pangan fungsional yang mengandung probiotik dan prebiotik dapat memperbaiki ketahanan mukosa dengan cara memodifikasi komponen dan/atau aktifitas metabolisme mikroflora dan memodulasi respon kekebalan sendiri (Brassart dan Schiffrin dalam Schmidl dan Labuza (2000).

II. Mikroflora

Saluran usus bukan hanya berisi sari dan sisa makanan, namun juga berbagai jenis bakteri. Bakteri-bakteri tersebut berasal dari seratus spesies yang berbeda dan terdapat dalam jumlah yang sangat besar (diperkirakan seratus triliun bakteri).

Mereka hidup bersama dengan mikroba lain secara kolektif. Menurut Winarno (tanpa tahun), triliunan bakteri yang menghuni usus manusia sebenarnya hidup secara tertib menurut suatu sistem dan menempati daerah kekuasaan tertentu. Hal ini, ungkapnya, bagaikan berbagai jenis vegetasi pada suatu hamparan pegunungan yang tampaknya tidak teratur. Namun, dalam kenyataannya tiap-tiap kelompok vegetasi tersebut menempati lokasi yang spesifik, dan keseluruhan vegetasi membentuk suatu karakter flora yang indah. Kelompok bakteri yang menghuni usus disebut bakteri flora usus atau disingkat sebagai flora usus saja.

Bakteri dalam usus ada sekitar 100-400 jenis. Bakteri-bakteri tersebut dikelompokkan dalam bakteri baik dan jahat. Bakteri baik bermanfaat bagi kesehatan dengan menghasilkan antibiotika alami yang membantu keutuhan mukosa usus, proses metabolisme, serta meningkatkan kekebalan tubuh. Contoh bakteri baik adalah Bifidobacterium sp., Eubacterium sp., dan Lactobacillus sp. Bakteri jahat disebut juga bakteri patogen, bisa menyebabkan penyakit dengan mengeluarkan racun yang bisa menyebabkan diare serta mengeluarkan enzim yang mendorong terbentuknya senyawa karsinogenik dalam saluran pencernaan. Bakteri jahat misalnya Clostridium sp., Shigella sp., dan Veillonell sp. (Sianturi, 2002).

Bakteri baik dan bakteri jahat tersebut semuanya hidup dalam keseimbangan. Jika keseimbangan sampai terganggu, misalnya jumlah bakteri jahat lebih banyak dibandingkan dengan jumlah bakteri baik, maka timbullah penyakit (Sianturi, 2002). Achmad dalam Sianturi (2002) menyatakan kestabilan flora usus bisa terganggu antara lain oleh antibiotika, infeksi bakteri dan virus, kemoterapi, radiasi, pola makan, stres dan iklim.

Mikroflora usus merupakan hadiah pertama dari ibu untuk sang bayi. Pada usia 24 jam, mikroflora usus dihuni banyak bakteri jahat seperti Coliform, Entericocci, Staphylococci, dan Clostridia. Namun, setelah bayi berusia empat hari, jenis bakteri baik seperti Lactobacilli dan Bidobacteri mulai berkembang biak dan mendesaki bakteri jahat yang telah ada sebelumnya. Akhirnya usus bayi didominasi oleh bakteri baik Bifidobacteria. Sejak itulah flora usus bayi menjadi stabil. Karena ini pula, setelah flora usus bayi stabil, biasanya diare yang terjadi pada awal kehidupan bayi akan berkurang dan menghilang (Winarno, tanpa tahun).

Populasi bakteri di sepanjang saluran pencernaan semakin kompleks baik jenis maupun jumlahnya, dengan bertambahnya usia. Lambung hanya mengandung bakteri yang tahan terhadap asam, sebagaimana diketahui, pH atau keasaman lambung sangat rendah, sekitar 1.7 dan bakteri laktat bisa bertahan dalam bilangan ribuan (103) bakteri. Usus besar atau colon ditempati 400-500 jenis bakteri yang jumlahnya triliunan (1012) bakteri, dan bakteri laktat jumlahnya sekitar 104 - 109 bakteri. Karena itu sepertiga berat feses merupakan bakteri baik hidup maupun mati.

Pada Tabel 1. dapat dilihat mikroorganisme yang dominan terdapat pada saluran pencernaan manusia. Mikroflora dalam saluran pencernaan manusia sehat relatif stabil, tetapi bervariasi bergantung dari kondisi fisiologis, pangan yang dikonsumsi, pengobatan yang sedang dijalani, stress dan umur.

Berangkat dari fenomena-fenomena tersebut, maka dapat dilakukan manajemen mikroflora usus yaitu proporsi bakteri baik ditingkatkan, dan bakteri jahat ditekan jumlahnya. Caranya, dengan mengkonsumsi bakteri probiotik, dan menyediakan nutrisi (prebiotik) sesuai untuk bakteri probiotik agar dalam usus berkembang lebih pesat (Waspodo, 2001).

Hal serupa dinyatatakan oleh Brassart dan Schiffrin dalam Schmidl dan Labuza (2000) bahwa probiotik dan prebiotik dapat digunakan untuk memodifikasi kesetimbangan mikroflora dalam usus dengan cara menambah nutrisi prebiotik atau bakteri probiotik.
III. Prebiotik Sebagai Pangan Fungsional

3.1. Definisi-definisi Probiotik

Prebiotik merupakan makanan (nonbakteri) yang tidak dapat dicerna manusia, namun berguna bagi bakteri penghuni usus besar (colon). Prebiotik akan meningkatkan pertumbuhan dan aktivitas bakteri baik yang berada dalam colon (Winarno, tanpa tahun; Waspodo 2001; Achmad dalam Sianturi, 2002). Rohdiana (2004) menyebutkan bahwa prebiotik melakukan perangsangan selektif pada pertumbuhan dan/atau aktifitas salah satu atau beberapa bakteri dalam usus besar, sehingga dapat meningkatkan kesehatan.

Prebiotik disebut juga makanan usus (colonic food) merupakan substrat buat bakteri sehingga dapat menghasilkan energi, nutrisi mikro dan membantu proses metabolisme. Proses metabolisme menghasilkan SCFAs, hydrogen, CO2, laktat, suksinat, ammonia, fenol dan indol. Profil hasil proses metabolisme tergantung pada kuantitas dan kualitas mikroflora serta substrat yang tersedia (Brassart dan Schiffrin dalam Schmidl dan Labuza (2000).

3.2. Syarat dan Jenis Probiotik

Collins dan Gibson (1999) melaporkan bahwa agar bisa dikatakan sebagai prebiotik maka suatu senyawa harus (1) tidak dapat dihidrolisis maupun diserap dalam upper gastro intestinal; (2) menjadi substrat yang selektif terhadap salah satu atau beberapa jenis bakteri yang menguntungkan dalam usus; (3) bisa memodifikasi komposisi mikroflora usus supaya menjadi lebih sehat.

Beberapa jenis prebiotik yang kini populer adalah oligosakarida seperti rafinosa, stakhiosa, galakto-oligosakarida, frukto-oligosakarida, laktulosa, laktitol dan inulin, serta beberapa jenis peptida dari protein yang tidak dapat dicerna setelah mencapai usus sekalipun (Winarno, tanpa tahun; Collins dan Gibson, 1999; Waspodo 2001; Achmad dalam Sianturi, 2002).

3.3. Sumber Prebiotik

Secara alami senyawa prebiotik terdapat dalam makanan yang banyak mengandung serat seperti biji-bijian; sayuran seperti brokoli, kembang kol, dan sayuran daun hijau; serta buah-buahan. Produk olahan kedelai seperti tempe, tahu, dan taoco, kaya akan senyawa prebiotik. Senyawa prebiotik tersebut juga banyak terdapat dalam tepung terigu dari gandum berkulit ari (whole wheat flour), bawang bombai, dan bawang putih (Achmad, 2002). Prebiotik dapat diasup dalam bentuk padatan maupun cairan seperti , yakult dan yoghurt atau minuman fermentasi lainnya.

3.4. Formulasi/Komposisi Prebiotik

Haschke dkk (2003) melaporkan senyawa prebiotiknya mengandung frukto-oligosakarida dan inulin masing-masing dengan komposisi 60-80 % w dan 20-40 % w. Hasilnya, respon kekebalan bayi yang mengkonsumsi prebiotiknya dinyatakan lebih baik dibandingkan yang tidak mengkonsumsi prebiotik. Hal ini ditunjukkan dengan kadar IgG yang meningkat yaitu 6,6 kali lebih banyak. Disamping itu, ia juga menambahkan susu terfermentasi, keju segar, yoghurt, sereal, susu bubuk dan produk berbasiskan kedelai sebagai carrier ke dalam prebiotiknya.

Maase (2004) menggunakan α laktalbumin dan α laktalbumin yang diperkaya dengan konsentrat protein susu sebagai agen prebiotik. Kadar α laktalbumin dalam α laktalbumin konsentrat protein susu sedikitnya 60 % w/w. Sedangkan kadar α laktalbumin dalam produk siap dikonsumsi (ready to consume) sedikitnya 0,5 % w/w, disuka 0,5-1, % w/w tetapi lebih disuka sekitar 1 % w/w.

Porubchan (2005) menyebutkan bahwa polyoxyethlene sorbitan monooleat (PSM) kering dapat digunakan sebagai prebiotik walaupun dengan kadar 5-100 mg/dose. Kadar air dalam PSM tidak boleh lebih dari 0,05.

Vigh dan Viby (2007) menggunakan d-tagatosa sebagai komponen prebiotik yang berguna untuk merangsang bakteri untuk memproduksi butirat. D-tagatosa dikonsumsi secara oral sebanyak 5-30 gram sehari.


IV. Probiotik Sebagai Pangan Fungsional

4.1. Definisi-definisi Probiotik

Konsep probiotik dikembangkan dari sebuah teori autointoksikasi yang dikemukakan oleh seorang ilmuwan Rusia penerima Nobel Biologi tahun 1908 yaitu Elie Metchnikoff. Menurutnya, secara perlahan pembusukan (putrefeksi) oleh bakteri dalam usus besar menghasilkan senyawa-senyawa beracun yang memasuki peredaran darah, yang disebut sebagai proses autointoksikasi. Proses inilah yang menyebabkan penuaan dan beberapa penyakit-penyakit degeneratif. Dia meyakini bahwa tingginya usia hidup warga suku-suku pegunungan di Bulgaria merupakan hasil dari konsumsi produk susu fermentasi. Bakteri yang ikut terkonsumsi bersama produk tersebut dan kemudian mampu tinggal di usus berpengaruh positif terhadap mikroflora di kolon dengan cara menurunkan efek toksik dari mikroorganisme yang merugikan di kolon.
Brady et al. (2000) dalam Prangdimurti (2001) mensitasi definisi probiotik dari Gibson and Robertfroid (1995) sebagai pangan/suplemen pangan yang berisi mikroba hidup yang memberi efek yang menguntungkan (kesehatan) saluran pencernaan.

Rohdiana (2004) menyebutkan probiotik adalah suplemen berupa organisme hidup yang mempunyai pengaruh menguntungkan di dalam usus. Organisme probiotik yang digunakan untuk konsumsi manusia umumnya adalah penghasil asam laktat (meskipun terbuka pula kemungkinan mikroorganisme yang lain yang menghasilkan efek menguntungkan). Hal yang sama juga dinyatakan oleh Maletto (2007) bahwa probiotik merupakan mikroorganisme yang menguntungkan karena dapat memperbaiki kinerja saluran pencernaan dan memperkuat sistem kekebalan tubuh.
Sementara itu Fuller dalam Brassart dan Schiffrin dalam Schmidl dan Labuza (2000) mengemukakan bahwa probiotik adalah makanan suplemen yang mengandung mikroorganisme hidup yang memberikan efek yang menguntungkan bagi konsumennya (host) dengan cara memperbaiki kesetimbangan mikroorganisme dalam saluran pencernaan.

Naidu dkk (1999) dalam Simmons dkk ( 2005) mengartikan probiotik sebagai mikroorganisme hidup yang sengaja dikonsumsi untuk memberikan manfaat fisiologis dengan cara memodulasi mukosa dan sistem kekebalan dengan cara memperbaiki sistem pencernaan dan keseimbangan mikroba dalam saluran pencernaan.

Skop (2006) menambahkan bahwa probiotik merupakan suplemen bagi flora-flora usus (natural flora). Mattson (2007) menyebutkan term probiotik memiliki arti untuk kehidupan termasuk menghidupi. Prebiotik merupakan kultur bakteri yang memberikan manfaat kesehatan.

4.2. Syarat, Sumber dan Jenis-jenis Probiotik

Agar dapat disebut probiotik dan dapat memberikan efek fisiologis yang baik, maka prebiotik harus memiliki sifat sebagai berikut (Brassart dan Schiffrin dalam Schmidl dan Labuza , 2000)
1. Berasal dari manusia (human origin)
2. Tahan terhadap asam dan toksisitas cairan empedu
3. Melekat pada sel-sel dalam saluran pencernaan manusia
4. Membentuk koloni dalam usus manusia
5. Bersifat antagonis terhadap bakteri patogen
6. Menghasilkan substrat anti mikroba
7. Menambah kekebalan
8. Terbukti secara klinis dapat memberikan manfaat kesehatan
9. Aman digunakan oleh manusia.

Prangdamurti (2001) menambahkan bahwa salah satu syarat probiotik adalah harus tetap hidup selama pengolahan dan penyimpanan dan Waspodo (2001) menyebutkan bahwa prebiotik harus tahan terhadap lisozim (enzim di air liur), pemecah dinding sel bakteri, asam-asam empedu, untuk sampai di usus dalam keadaan hidup dan mampu melekat pada sel epitel. Winarno (tanpa tahun) menambahkan prebiotik harus memiliki sifat anti karsinogen dan harus mampu meningkatkan kemampuan penyerapan usus.

Probiotik alami yang terdapat dalam usus adalah kelompok Lactobacillus dan Bifidobacteria (Collins dan Gibson, 1999;). Ia juga terdapat dalam makanan fermentasi seperti yakult, keju berbagai produk salami, beberapa buah dan sayuran dan dikenal aman (GRAS, Generally Recognized as Safe) (Waspodo, 2001). Menurut Winarno (tanpa tahun) dan Prangdimurti (2001), bakteri tersebut dapat membantu meningkatkan daya tahan tubuh dalam menghadapi infeksi saluran usus dengan cara memperbaiki komposisi mikroflora sehingga mengarah pada dominansi bakteri-bakteri yang menguntungkan kesehatan. Akhirnya akan dapat menghambat pertumbuhan bakteri jahat, mengurangi kadar lemak dalam darah dan meningkatkan respon kekebalan. Bakteri-bakteri itu disebutkan dapat berperan dalam perlindungan terhadap serangan kanker usus.

Prebiotik yang tahan dan mampu hidup hingga sampai di usus adalah bakteri yang berasal dari manusia itu sendiri. Oleh karenanya, Lactobacillus dan Bifidobacteria merupakan pilihan terbaik (Collins dan Gibson, 1999; Prangdimurti, 2001; Jones, 2002).
Adapun tipe-tipe produk probiotik dan bakteri probiotik yang digunakan adalah sebagai berikut.

4.3. Manfaat Probiotik

Adapun manfaat mengkonsumsi produk probiotik antara lain (www.indoforum);
1. Membantu membersihkan saluran cerna dan memproduksi vitamin
2. Meningkatkan fungsi hati dalam membersihkan toksin
3. Menurunkan kolesterol darah dan trigliserida
4. Mencegah diare, sembelit dan mengurangi alergi
5. Mencegah perkembangan bakteri patogen
6. Meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit
7. Meningkatkan fungsi pencernaan
8. Mencegah keropos tulang
9. Mencegah infeksi jamur Cancida Aalbicans
10. Membantu mencegah kanker4.4. Formulasi/Komposisi Probiotik


Metchnikoff, ahli Bulgaria yang pertama kali mengemukakan konsep probiotik, menggunakan Lactobacillus delbrueckii sub spesies bulgaricus dan Streptococcus salivarius sub spesies thermophilus untuk memproduksi yoghurt.

Mayra-Makinen dkk (2004) menggunakan kombinasi antara lactobacillus rhamnosus, propionibacterium freundenreichii ssp.shermanii dan bifidobacterium.

Ljungh-Wadstorm (2007) melaporkan bahwa komposisi probiotiknya terdiri atas dua bakteri asam laktat yang dapat dipilih dari kelompok Lactobacillus plantarum F5, F26, LMG P-20606, Pediococcus penosaceous dan Leuconostoc mesentorides. Bakteri-bakteri itu dapat digunakan sendiri-sendiri atau bersama-sama. Ia juga melaporkan bahwa komposisi prebiotiknya memberikan intestinal survival, intestinal binding, infection protecting dan fiber fermenting property yang baik.

Agar probiotik dapat aman dan sampai dalam keadaan hidup di usus, berbagai cara telah ditempuh, selain dengan mengasup secara kontinyu, maka dapat juga dengan mengemasnya, seperti yang dilakukan oleh Simmons dkk (2005). Ia mengemas probiotik dalam bentuk kapsul. Komposisinya terdiri atas bakteri probiotik (1-10 %), mikrokristalin selulosa (50-90 %) dengan diameter 45-180µm dan derajat polimerisasi 165-365, serta stabilisator (0,1-30 %) dan disintegran (0.1-5%). Bakteri probiotik berupa Lactobacillus dan Bifidobacterium. Stabilisator yang digunakan antara lain dapat berupa gliserol, bubuk susu skim tanpa lemak, asam askorbat, flavanol, asam nikotinat dan sukrosa. Disintegrannya dapat berupa croscarmelose sodium, asam alginate, dan starch. Prosesnya meliputi dry-blending antara MMC dengan disintegran, kemudian campuran tersebut digranulasi sambil ditambah stabilisator dan air untuk membentuk extrudable paste. Langkah selanjutnya adalah ekstrusi lalu diikuti dengan spheronisasi, pengeringan dan pelapisan (coating ).

Sanguansri dkk (2007), mengemas prebiotik dengan cara dibuat dalam bentuk micro-encapsulated. Caranya dengan mendispersikan bakteri probiotik dalam suspensi cair protein, karbohidrat dan lemak atau dalam minyak yang didispersikan dalam campuran karbohidrat dan protein.Emulsi yang terbentuk dikeringkan dengan cara didinginkan (freeze drying) lalu dibuat dalam bentuk bubuk lalu. Protein yang digunakan dapat berupa casein atau whey protein sedangkan karbohidrat yang digunakan dapat berasal dari starch atau sakharida. Bakteri probiotiknya dapat berupa Lactobacillus, Bifidobacteria, Saccharomyces, Lactococci, Streptococci atau Propionibacteria.

Mattson (2007) mengemas prebiotiknya dalam bentuk kering dalam bahan impermeable. Prebiotik kering didispersikan dalam fat-based coating, kemudian dapat ditambahkan flavour agent seperti coklat, yoghurt dan sweetener. Lalu dikemas dalam kemasan yang kedap air, biasanya metallized multi-layer polymer film. Prebiotik yang digunakan berasal dari kelompok Lactobacillus dan Bifidobacterium.

V. Sinbiotik

5.1. Definisi-definisi Sinbiotik

Konsep sinbiotik dikemukakan oleh Gibson dan Roberfroid, yang artinya gabungan antara prebiotik dan probiotik, dengan maksud dapat memberikan sifat mampu hidup lebih lama bagi prebiotik dan menambah jumlah prebiotik dalam saluran pencernaan dengan cara merangsang dan atau mengaktifkan bakteri probiotik dalam usus sehingga memberikan manfaat kesehatan yang lebih baik (Brassart dan Schiffrin dalam Schmidl dan Labuza, 2000).

Salah satu cara untuk menjaga dan memperbaiki mikroflora dalam usus, selain dengan mengasup prebiotik dan probiotik sendiri-sendiri, maka dapat pula diasup secara bersama-sama. Caranya dengan menformulasikan prebiotik dan probiotik dalam satu bentuk. Bentuk ini disebut dengan sinbiotik. Keuntungannya adalah dapat memperpanjang umur probiotik. Prebiotik yang digunakan biasanya merupakan substrat yang sesuai dengan probiotiknya, seperti Bifidobacteria dengan FOS atau GOS, dan Lactobacillus dengan laktitol (Collins dan Gibson, 2001).

Menurut Daniels (2006), sinbiotik merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap probiotik.

5.2. Formulasi/Komposisi Sinbiotik

Haschke dkk (2003) juga menambahkan probiotik ke dalam prebiotiknya. Probiotiknya berasal dari kelompok Bifidobacterium bifidum dan Streptococcus thermophilus.

Ranganathan (2004) menggunakan sedikitnya satu dari bakteri probiotik diantaranya Lactobacillus, L., bulgaricus, L., casei, L., rhamnosus, L., fermentum, L., Brevis, S. thermophilus, Bifidobacterium adolescentis, B., bifidum. Kemudian sedikitnya satu karbohidrat, yang digunakan dapat berupa dekstrsa, fruktosa, laktosa, maltosa, galaktosa dan gula-gula alkohol seperti manitol, sorbitol dan xylitol. Sebagai tambahan, ia juga menggunakan minyak yang dapat berupa minyak ikan, minyak kedelai, minyak kacang, minyak biji kapas, dan minyak biji bunga matahari dan lemak nabati maupun hewani. Protein juga ditambahkan dan bias berupa protein susu, protein nabati, protein hewan, protein telur, lactalbumin, dan senyawa caseinate seperti kalsium dan sodium caseinate.

Mayra-Makinen dkk (2004) membuat sinbiotik dengan komposisi Lactobacillus rhamnosus, Propionibacterium freundenreichii ssp.shermanii dan Bifidobacterium serta prebiotik berupa oligosakharida (galakto-oligosakharida), xylo-oligomer atau polidekstrosa.

De jong dkk (2004) membuat sinbiotik dari oligosakarida yang memiliki derajat polimerisasi 2-20 dan prebiotik yang dapat berupa Lactobacillus, Bifidobacterium dan Propionibacterium. Perbandingan komposisinya 1-5 gram oligosakharida tiap 108-1011 sel probiotik.

Sedangkan Porubchan (2005) mencampur PSM kering (kadar air dibawah 5 %) dengan bakteri spesies Lactobacillus.

Sinbiotik yang dibuat Guo (2005) terdiri atas prebiotik yang dapat berasal dari kelompok Lactobacillus, Bifidobacterium, Lactococcus, Pediococcus dan Saccharomyces serta mannano-oligosakharida atau frukto-oligosakharida. Komposisinya sedikitnya mengandung 10000 CFU dan 50 mg- 10 g mannano-oligoskahrida atau 20-25 g frukto-oligosakharida. Untuk membuat encapsulated form, ia menambahkan diluent, stabilisator, pengikat (binder), buffer, pelumas, pelapis, pengawet, emulsifier dan penyuspensi.


VI. Daftar Pustaka

  1. Brady, L.J., Gallaher, D.D. and Busta, F.F. 2000. The role of probiotic cultures in the prevention of colon cancer. J. Nutr. Vol. 130, Hal. 410S-414S.
  2. Brassart, D., Schiffrin, E.J., (2000), Pre-and Probiotics, dalam Essentials of Functional Foods oleh Mary K. Schmidl and Theodore P.Labuza (2000)
  3. Collin, M.D., Gibson, G.R., 1999, Probiotics, Prebiotics, and Synbiotics: Approaches for Modulating the Microbial ecology of the Guts, Am. J.Clin. Nutr., Vol. 69, Hal. 1052S-1056S
    Daniels, S., 2006, Can Prebiotics Protect Probiotics during Processing?, International Journal of Food Microbiology, Vol.112, Hal. 171-178
  4. De jong, P., Van Laere, 2004, Preparation that Contains Oligosaccharides and Probiotics, US 6 783 780 B1
  5. Guo , P., 2005, Compositions Containing Probiotics and Polysaccharides and Methods of Use, US 2005/0186188 A1
  6. Haschke, F., Carrie, A., Kratky, Z., Link-Amster, H., Rochat, F., 2003, Cahbohydrate Formulation (Prebiotic Adjuvant) for Enhancement of Immune Response, US 2003/0040492 A1
  7. Jones, P., 2002, Clinical Nutrition: 7. Functional Foods-more than just Nutrition, JAMC, Vol. 12, Hal. 1555-1563
  8. Lichtenstein, A.H. and Goldin, B.R. 1998. Lactic Acid Bacteria and Intestinal Drug and Cholesterol Metabolism dalam Lactic Acid Bacteria : Microbiology and Functional Aspects oleh Salminen, S. dan Wright, A., Edisi kedua. Marcel Dekker, Inc.
  9. Ljungh-Wadstorm, A., 2007, Probiotic Composition Comprising at Least Two Lactic Acid Bacterial Strains which are able to Clonise the Gastrointestonal Tracts in Combination with Having Intestinal Survival Property, Intestinal Binding Property, an Infection Protection Property and Fiber Fermenting Property, US 2007/0098705 A1
  10. Maase, K., 2004, G(A)-Lactalbumin as Prebiotic Agent, US 2004/0077539 A1
    Mattson, P.H., 2007, Probiotic Food, Process for Its Preparation and Dietary Regimen, US 2007/0160589 A1
  11. Mayra-Makinen , A., Suomalainen, T., Vaarala. O., 2004, Combination of Probiotics, US 2004/0062758 A1
  12. Porubchan, R.S., 2005, Growth Promoting Prebiotic for Lactobacillus Dietary Supplements, US 2005/0106132 A1
  13. Prangdamurti, E., 2001, Probiotik dan Efek Perlindungannya terhadap Kanker Kolon, Makalah Falsafah Sains, Program Pasca Sarjana IPB
    Ranganathan, 2004, Nutritional Compositions Comprising Probiotics, US 2004/0161422 A1
  14. Rohdiana, D., 2004, Pangan Fungsional dan Kesehatan, Harian Pikiran Rakyat, Edisi Kamis, 8 April 2004.
  15. Sanguansri, L., Augustin, A., Crittenden, V., 2007, Probiotic storage and Delivery, US 2007/0122397 A1
  16. Setyawan, A.B., 2007, Pangan Fungsional dan Kesehatan, www.google.co.id
    Sianturi, G., 2002, Probiotik dan Prebiotik untuk Kesehatan, Harian Kompas, Edisi Minggu, 27 Januari 2002.
  17. Simmons, D.L., Moslemy, P., Paquette, G .D., Guerin, D., Joly, M., 2005, Stable Probiotic Microsphere Compositions and Their Methods of Preparation, US 2005/0266069 A1
    Skop, M., Chokshi, D., 2006, Novel Probiotic Compositions and Methods of using the Same, US 2006/0263344 A1
  18. Vigh, M.L., Viby, H.A., 2007, Use of D-Tagatose as a Prebiotic Food Component, US Patent 7 202 219 B1
  19. Waspodo, I.S., 2001, Efek Probiotik, Prebiotik dan Synbiotik bagi Kesehatan, Harian Kompas, Edisi 30 September 2001.
  20. Winarno, F.G., tanpa tahun, Flora Usus: Menjaga Kesehatan dan Kebugaran, http:// www. Republika.co.id.

Ucapan terima kasih kepada Ibu Wiratni, Ph.D yang telah memberikan arahan dalam penulisan paper ini.